Ismael Matias Morin, mahasiswa Pendidikan Jasmani angkatan 2022 Universitas Cenderawasih, lahir tanggal 16 Januari 2025 di Kampung Wadibu Distrik Oridek Biak-Numfor, membawa beban peran yang berat di pundaknya. Berasal dari jemaat GKI Simon Petrus Wadibu dan kini berjemaat di GKI I.S. Kijne Abepura, Ismael harus menampilkan ketabahan sekaligus penderitaan Yesus di sepanjang prosesi. Di bawah tatapan ratusan pasang mata, ia berjalan memanggul salib, menjadi fokus utama perenungan akan pengorbanan Kristus bagi umat manusia dalam acara yang dihadiri pula oleh BP Klasis GKI Port Numbay.
Dalam perjalanan menuju tempat latihan di GKI Harapan Abepura bersama rekannya, Mita Suabey dan Tirsa Sanyar, ia belum tahu peran apa yang menantinya. Saat ditanya siapa yang bersedia menjadi Bunda Maria, Since awalnya ingin ikut menyanyi saja. “Tetapi saya blng saya mau menyanyi sj,” tuturnya. Namun, dorongan dari “Kk Mita” (“Ade gres ko siap bunda Maria sudah”) membuatnya menerima peran tersebut dari hati nuraninya sendiri.
Perjalanan Since menghayati peran Maria tidaklah mudah. Ia mengaku awalnya banyak bermain dan tertawa saat latihan, hingga mendapat teguran untuk lebih serius dan belajar menangis menghayati kesedihan Maria. Since sempat menolak paksaan untuk menangis. “Saya blng saya manusia yg tidah bisa di paksakan….? Untuk membuat segala sesuatu harus melalui dari jati diri saya sendiri,” tegasnya kala itu. Ia merasa emosi harus datang secara alami. Pertentangan kecil bahkan sempat terjadi pada latihan kelima mengenai cara ia harus menampilkan kesedihan Maria.
Titik balik penghayatan Since terjadi pada latihan kelima tersebut. Ketika tim musik melantunkan lagu “Heli-Heli Lama Sabatani” dan ia menyaksikan adegan Ismael (sebagai Yesus) disiksa oleh para pemeran prajurit, hatinya luluh. “Tuhan itu z PU hati ini rasa hancur atuh terharu mendengar lagu itu… Saya merasa sedih dam mengis tersedu sudu,” ungkapnya. Air mata yang ia tahan akhirnya mengalir deras. Momen itu membuatnya merasa Roh Kudus bekerja di hatinya. Ia dipeluk dan ditenangkan oleh rekannya, Satria dan Nawan, yang bertanya mengapa ia menangis, namun ia hanya menjawab “tidak apa apa kk…?”.
Pada hari pelaksanaan, Jumat itu, Ismael dan Since membawakan peran mereka dengan penuh penghayatan. Didukung oleh seluruh anggota PAM Klasis Port Numbay dan disaksikan oleh BP Klasis serta warga sekitar, prosesi berjalan lancar dan menyentuh hati. Perjuangan Ismael memanggul salib dan tangisan pilu Since di bawah salib menjadi puncak visualisasi yang membawa semua yang hadir ke dalam perenungan mendalam akan makna Paskah. Setelah prosesi berakhir di Lapangan Kampus STFT I.S. Kijne, acara dilanjutkan dengan Malam Puji-pujian, melengkapi hari itu dengan ungkapan syukur.
Bagi Ismael dan Since, pengalaman ini bukan sekadar memerankan sebuah tokoh, tetapi sebuah perjalanan spiritual pribadi yang menguatkan iman. Since menyadari keterbatasannya, “sebagai manusia bawa kita tidak bisa menjadi bunda maria yg sesunguh nya tetapi berkat dan pertolongan tuhan bahwa da kekuatan kita bisa melatih diri kita menjadi seorang bunda Maria yg sejtih.” Pengalaman ini memotivasi Since untuk berpesan kepada rekan-rekan pemuda-pemudi, “Kita harus berdiri tegak kokok sebagai tulang punggung gereja yg kokok… Dan buat pemudi perempuan muda harus menjadi seorang bunda maria yg sejatihh.” Ia juga teringat pesan ayahnya yang mengibaratkannya seperti pohon pinang, “harus saya naik bawa turun,” yang ia maknai sebagai tugas menyelesaikan kuliah dan membawa pulang ijazah sarjana.
Motivasi dan Hubungan dengan Tema “KESEHATIAN” 2025,
Pengalaman mereka, bersama seluruh panitia dan peserta, secara mendalam menyentuh tema sentral GKI di Tanah Papua dan tema tahun 2025, yaitu “KESEHATIAN”. Kesehatan yang dimaksud bukanlah semata-mata fisik, melainkan kesehatan holistik yang mencakup spiritual, mental, emosional, dan sosial. Prosesi Jalan Salib dan Malam Puji-pujian menjadi sarana pemulihan dan penguatan kesehatan rohani melalui perenungan iman, serta kesehatan emosional saat para pemuda, seperti Since, diizinkan untuk merasakan dan mengekspresikan emosi mendalam dalam konteks iman dan dukungan komunitas (“Kk Satria dan Kk Nawan yg mereka kedua memeluk saya yg mengis ini”).
Oleh karena itu, biarlah semangat Paskah yang terwujud dalam Fragmen Jalan Salib ini terus membakar hati setiap anggota PAM Klasis Port Numbay. Jadikanlah pengalaman ini sebagai momentum untuk terus merawat “KESEHATIAN” dalam segala aspek—iman yang terus bertumbuh, emosi yang dikelola dalam terang Firman, persekutuan yang solid, dan karya nyata yang memberkati. Teruslah beriman, bersatu, dan berkarya, menjadi generasi muda GKI yang sehat secara holistik dan menjadi berkat bagi gereja, masyarakat, dan Tanah Papua. Tuhan Yesus Memberkati!